Identitas Buku
Judul buku: Pendidikan Nilai
Memasuki Tahun 2000
Karya: M. Sastrapratedja
Penyunting: EM. K. Kaswardi
Kata pengantar: A. Sewaka SJ
Design Cover: Kunta Rahardjo
Tebal halaman: 198 halaman
Penerbit: PT Grasindo
Jl. Palmerah Selatan 22-28, Jakarta
10270
Perubahan
kondisi sosial ekonomi yang dipacu oleh perkembangan ilmu dan teknologi yang
pesat, membawa serta perubahan-perubahan dalam cara berfikir, cara menilai,
cara menghargai hidup dan kenyataan. Ini semua membawa kekaburan nilai yang ada
dan kekaburan dimensi nilai yang sebenarnya selalu ada dalam proses
perkembangan dan perubahan masyarakat, serta dalam pribadi sendiri. Suatu nilai
menjadi pegangan seseorang, suatu norma, prinsip hidup seseorang. Nilai yang
dipilih secara bebas akan diinternalisasi, dipelihara dan menjadi pegangan
hidup seseorang. Memilih secara bebas berarti bebas dari tekanan apapun, baik
tekanan yang jelas maupun yang terselubung dari orang-orang yang dicintainya.
Nilai-nilai yang ditanamkan pada masa kecil bukanlah merupakan suatu nilai yang
penuh bagi seseorang. Situasi tempat atau lingkungan, hukum dan peraturan dalam
masyarakat, bisa memaksakan suatu nilai pada seseorang, yang sebenarnya tidak
disukainya pada taraf semuanya itu bukan merupakan nilai orang tersebut.
Dalam GBHN
secara jelas ditegaskan bahwa hakekat pembangunan nasional kita adalah
pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat
Indonesia. Pembangunan nasional itu bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat
adil, makmur yang merata, materiil dan spiritual berdasarkan pancasila.
Penegasan ini menunjukan kesadaran pemerintah dan masyarakat bahwa segala usaha
pembangunan haruslah mengutamakan manusia. Maka, perumusan pembangunan manusia
Indonesia seutuhnya itu terus menerus perlu digali maknanya. Sebab, pada
dirinya sendiri, rumusan itu masih dapat secara kreatif ditafsirkan dan
dipahami agar kekayaan isinya semakin kelihatan.
Penjelasan arti
pembangunan manusia Indonesia seutuhnya semakin penting, bila yang akan
membicarakan itu adalah kita, yang ingin melibatkan diri dalam pendidikan.
Sebab, kiranya tidaklah berlebihan kalau kita katakana bahwa pendidikan
merupakan bidang yang amat penting dalam keseluruhan usaha pembangunan manusia.
Pembangunan manusia hanya bisa berhasil baik apabila pendidikan juga berhasil
baik.
Jika berbicara
mengenai pendidikan dan pembangunan manusia, mau tidak mau harus berbicara juga
tentang nilai-nilai kemanusiaan. Membangun terutama berarti memperbaiki atau
menyempurnakan. Maka, pembangunan manusia terutama berarti memperbaiki atau
menyempurnakan manusia. Dalam praktek, hal itu mengandaikan bahwa pendidik dan
anak didik bekerjasama untuk menumbuhkan serta mengembangkan kemampuan anak
didik itu dalam menghayati dan mengamalkan nilai-nilai kemanusiaan.
Sekolah sebagai
salah satu lembaga yang menangani pendidikan, bertugas mengembankan dan
menumbuhkan kemampuan-kemampuan rohani manusia, menumbuhkan daya penilaian yang
benar, meneruskan warisan budaya manusia dan menumbuhkan kesadaran akan
nilai-nilai. Disamping tugas pokoknya mempersiapkan anak didik (atau istilah
sekarang peserta didik), untuk penghidupan atau mata pencaharian kelak.
Keprihatinan dari
Majelis Nasional Pendidikan Katolik (MNPK) adalah: bagaimana kita dapat menyiapkan
atau mendidik pribadi-pribadi yang tanggap dan siap untuk menghadapi masa
mendatang. MNPK menyadadari bahwa perlu ditumbuhkan terus-menerus pada peserta
didik, kesadaran nilai-nilai yang mandiri dalam situasi yang terus-menerus
berubah dengan cepat. Kemandirian ini terutama dalam kesadaran penghayatan dan
pengamalan nilai-nilai tersebut.
Pelbagai nilai-nilai
yang dalam situasi dewasa ini dirasakan sangat perlu ditekankan menurut MNPK,
antara lain iman dan kasih, keadilan dan kepekaan pada golongan lemah dan
kurang mampu, tanggung jawab pada kepentingan umum, hormat kepada sesame kejujuran
dan kelugasan (berani berkata yang benar), solidaritas dan keterlibatan sosial,
karena kesatuan kekeluargaan, kreativitas, rasionalistis, ketekunan dan
ketertiban.
Nilai-nilai
diatas dianggap penting ditumbuhkan, oleh karena situasi baru yang telah
digambarkan dalam masyarakat kita, disamping mempunyai pengaruh-pengaruh
positif seperti kemakmuran dan kemudahan-kemudahan yang semakin bertambah, juga
ada pengaruh lain seperti materialism, individualism, sekuralisme dan
lain-lain.
Nilai mengandaikan
arti yang tepat dan konkrit dari konteks sosial tertentu. Sejauh arti tersebut
berkaitan dengan keadaan konkrit yang dialami orang, tentu saja ia langsung nampak.
Tetapi kerap kali keadaan sendiri “tidak jelas”. Dengan kata lain, orang tidak
selau sadar bahwa pada keadaan tertentu berlaku nilai-nilai tertentu pula. Karena
itu pendidikan nilai juga berarti menolong menemukan nilai yang sedang berlaku
pada keadaan tertentu, atau menunjukan hubungan antara nilai dengan keadaan
konkrit.
Dilain pihak,
penilaian terhadap keadaan yang tidak biasa umumnya dilakukan dalam konteks
yang lebih luas, yang menyangkut perangkat nilai-nilai yang lebih banyak. Akibatnya,
kita harus menempatkan kembali keadaan semacam itu dalam konteksnya, sebelum
kita dapat menilainya satu persatu secara tepat. Dalam arti ini, pendidikan
nilai memerlukan pemahaman secara luas mengenai konteks sosial dunia kita. Dalam
pendidikan nilai yang baik, kita harus mampu menata visi keadaan yang
bermacam-macam , dimana orang menghayati nilai, dalam suatu visi yang
menyeluruh mengenai kenyataan, dimana berbagai keadaan tersebut mempunyai
tempat masing-masing.
Dari semua itu
dapat disimpulkan bahwa sekolah membutuhkan “pengarah”, yang dapat membantu
membentuk visi yang menyeluruh mengenai hidup, menata secara tepat nilai-nilai
yang tercangkup dalam situasi yang pada saat tertentu paling bermakna bagi
pendidikan nilai.
Perlu ditambahkan
bahwa pemilihan nilai yang akan “ditonjolkan” dalam pendidikan sangat mungkin
tergantung dari kerja sama antara lembaga dan orang-orang yang mampu
menafsirkan dan menilai konteks sosial saat itu.
System pendidikan
berlakunya kira-kira seperti manusia. Apabila membutuhkan acuan pada pandangan
yang lebih luas, menyeluruh, yang memungkinkan system itu berjalan, maka system
itu akan mencari dukungan dan tuntunan dari system lain, sama seperti manusia. Usaha
pencarian seperti itu secara sungguh-sungguh dan terbuka sangat penting, begitu
pula menyadari ketergantungan kepada pengarah lain, dengan tetap bersikap
kritis terhadap mereka. Hal itu memungkinkan kita, antara lain untuk membedakan
otoritas yang mendukung kebutuhan dan tuntunan sekolah yang tidak mendukung.
Kedudukan guru
adalah kedudukan profesi. Dan tentu saja setiap guru diharapkan menjadi guru
yang professional. Keprofesionalan bukan hanya dibuktikan oleh pemilikan SIM
(Surat Izin Mengajar) dalam bentuk ijazah dari lembaga seperti SPG/IKIP/FKIP
saja. Ada sejumlah tuntunan yang harus terpenuhi oleh seorang guru professional
itu, yaitu sejumlah kompetensi yang bisa diringkaskan menjadi kompetensi
pribadi, kompetensi professional, dan kompetensi kemasyarakatan.
Dari segi professional
itu guru misalnya dituntut untuk mempunyai apa yang sekarang disebut wawasan
kependidikan guru (WKG). Didalam WKG tercakup pemahaman tentang hakikat manusia
dan masyarakat, hakikat siswa sebagai subyek didik, hakikat guru sebagai
pendidik, hakikat belajar mengajar.
Dalam tugas
pokoknya yang mengajar itulah seorang guru menyusun program pengajarannya. Dia harus
mampu secara cermat merumuskan tujuan, sasaran, atau hasil yang hendak dicapai
melalui proses pengajaran. Sasaran atau hasil dari proses pengajaran inilah
yang dalam dunia pengajran disebut dengan hasil pengajaran atau instructional effects. Hasil atau efek
pengajaran ini relative mudah dilihat dan dievaluasikan serta dikontrol. Karena
didalam program ini tergantung komponen-komponen tujuan, bahan, metode, alat,
dan kegiatan serta evaluasi (tes), maka manakala efek atau hasil pengajaran
tidak tercapai, guru segera bisa menelusuri komponen mana yang kurang pas,
komponen mana yang perlu disempurnakan, dan seterusnya, bahkan semua itu bisa
merupakan umpan balik (feedback) bagi guru itu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar